1. The Rape of Nanking
Karya Iris Chang
Bukan lagi cerita omong kosong jika bangsa Cina dan Jepang saling merendahkan satu sama lain, setidaknya itulah yang dilakukan oleh kedua pemerintahan besar di Asia Timur. Buku ini menceritakan sebuah peperangan saudara se-Asia di awal abad ke 20, saat itu Jepang menghujani daratan Cina dengan berbagai senjata perang, dan merebut salah satu kota yang dikenal dengan Nanjing. Tentara Jepang yang menyerang membabi buta tidak saja melakukan pengrusakan dan pembunuhan perang, melainkan pemerkosaan, pemutilasian dan membunuh lebih dari 400.00 rakyat sipil Cina dalam waktu delapan minggu (namun pihak militer Jepang menyangkal semua tuduhan bahkan nama dan tempat peperangan). Demikian yang diungkapkan oleh Irish Chang, seorang anggota partai komunis yang diberi mandat untuk mengungkapkan fakta peperangan tersebut. Namun tak lama kemudian Chang ditemukan bunuh diri untuk alasan yang tidak jelas, tetapi karyanya tersebut disimpan dengan baik di sebuah akademi, dan jika memang Pembantaian Nanjing terjadi, itu adalah pembantaian yang paling buruk dalam sejarah dunia.
2. Mao’s Great Famine
Karya Frank Dikötter
Secara garis besar, perubahan warna politik serta pemindahan gaya pemerintahan yang cepat berdampak buruk bagi kehidupan rakyat Cina, kenapa tidak? Karena perubahan tersebut telah menyebabkan lebih dari 45 juta rakyat Cina menderita kelaparan dan terancam mati. Saat itu pemerintahan berada di bawah kepemimpinan Mao zedong, yang juga merupakan pemimpin dari partai komunis, dianggap telah melakukan pembunuhan/pembantaian terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Dalam buku ini Dikötter mengungkapkan bahwa Mao telah membohongi rakyat Cina dengan sebuah pandangan yang menyatakan Cina akan menjadi salah negara terkuat di dunia di bawah pemerintahannya. Sehingga ia (Mao) mengumpulkan semua rakyat dan memperkerjakan mereka sebagai buruh kasar, membuat baja, bertani dan berladang tidak mengenal waktu. Namun apa hasilnya? Baja-baja yang telah digelapkan, lalu banyak laporan hasil ladang dan pertanian yang tidak akurat, sehingga jutaan pekerja dan petani terancam mati kelaparan. Saat ini pemerintahan komunis Cina masih menganggap bahwa kejadian ini tidak pernah terjadi.
3. The Tiananmen Papers
Karya Andrew J. Nathan
Apakah pembantaian di Alun-Alun Tianamen pada tahun 1989 benar-benar terjadi? Jika Anda seorang manusia yang terlahir di Cina sebelum tahun 1980, maka jawabannya kemungkinan “Tidak, ini hanya sebuah kebohongan yang disiarkan oleh CIA” dan jika Anda terlahir setelah tahun 1980 mungkin akan berkata,” pembantaian apa?” tetapi bagi mereka para akademisi, peneliti, dan aktivis, banyak laporan, berita serta literasi tanpa sensor yang mudah didapatkan. Sehingga peristiwa pembantaian di Alunalun Tianamen merupakan bukti salah satu tindakan keras yang dilakukan oleh pemerintahan totaliter Cina untuk mengusir para demonstran yang menentangnya. Melalui buku ini, kedua editor baik Andre nathan dan Perry Link merangkum sebuah dokumen rahasia yang mengungkapkan kejadian sebenarnya di balik peristiwa tersebut. Dokumen tersebut berisikan perdebatan di antara para pemimpin/tetua Partai Komunis China, yang mengarahkan kebijakan dan memutuskan diperlukannya tindakan yang biadab. Mereka mengirimkan sepasukan Tentara dan Milisi Pembebasan untuk mengusir para mahasiswa dan pelajar dengan menggunakan senjata, sementara demonstrasi berlangsung wajar dan hanya menuntut adanya reformasi di dalam format pemerintahan. Dan bukti berupa transkrip mengenai pembantaian tersebut ada di dalam buku The Tianamen Papers.
4. A Memoir of My Years in China’s Gulag
Karya Harry Wu
Seperti kebanyakan tahanan Cina lainnya, Harry wu dijebloskan ke dalam penjara tanpa mengalami proses pengadilan, atau bahkan dituduh melakukan suatu kejahatan yang jelas. Selama 19 tahun, Wu mengalami berbagai penderitaan dan penyiksaan di dalam sistem penampungan budak dan buruh paksa yang terkenal, ‘gulag.’ Ia disiksa, dicuci otak, dan tidak diberi makanan cukup dan layak, bahkan tata kehidupannya diatur dengan cara yang dianggap sosialisme. Mao Zedong meninggal pada tahun 1976, yang pada saat itu juga semua para tahanan politik dari gerakan Revolusi Budaya kemudian dibebaskan termasuk Wu. Namun hingga saat ini sistem penganganan para tahanan masih dan tidak berubah, beberapa yang ditahan tanpa mengalami proses pengadilan dan memperkerja paksakan paran tahanan.
5. Tears of Blood: A Cry For Tibet
Karya Mary Craig
Kasus ‘bebaskan Tibet’ selalu menjadi perbincangan dan pembahasan yang menyentuh nurani. Bahkan bangsa Inggris pada tahun 1900’an mencoba untuk menginvasi dan merebut tanah Tibet, mereka mengalami kegagalan. Saat ini Tibet berada di bawah kekuasaan pemerintah komunis Cina, sehingga kemudian orang-orang barat beranggapan bahwa Tibet harus dibebaskan. Munafik? Atau Kecemburuan geografis? Berdasarkan tulisan karya Mary Craig, Suku Han dari Cina telah berusaha untuk mengendalikan kehidupan masyarakat Tibet terlalu berlebihan, mereka dipaksa untuk disterilisasikan sehingga tidak dapat mendapatkan keturunan, memenjarakan para pandita dan biksu Budha, dan mengeksplotasi kekayaan alam mineral yang banyak terkandung di kawasan Tibet. Dan kerusuhan yang terjadi pada tahun 2008 di Lhasa adalah sebuah bukti bahwa orang-orang Tibet telah berada pada puncak kemarahannya
6. Poorly Made in China Karya: Paul Midler
Ketika buku Leslie Chang asyik mengulas pada buruknya pemerintah Cina dalam memperlakukan buruh pabrik, seorang pengusaha buruknya pemerintah Cina dalam memperlakukan buruh pabrik, seorang pengusaha bernama Paul Midler malah sibuk mengupas buruknya manajemen perusahaan Cina dalam melakukan sebuah pergerakan ekonomi pasar. Menurut Midler dalam bukunya, “Poorly Made in China,” mereka telah melakukan berbagai kesalahan fatal dalam membuat sebuah kontrak dan persetujuan, akibatnya terjadilah korupsi yang merajalela, buruknya kontrol kualitas dan lemahnya supremasi hukum yang mengatur sistem pasar. Akibat dari semua kesalahan itu terjadilah banjir produk yang rendah kualitas, eksploitasi pekerja anak di bawah umur,selain merusak pasar bahkan merusak kesehatan manusia dan lingkungan.
7. The Corpse Walker: Real-Life Stories
Karya: Liao Yiwu
Sebelumnya Salman Rushdie telah memprediksikan bahwa Liao Yiwu adalah salah seorang penulis yang akan ‘dihilangkan’ oleh pihak komunis. Setelah pemerintah Cina berusaha keras untuk mengatasi gejolak pemberontakan sosial. Bukan Liao saja yang menjadi sasaran pemerintah komunis melainkan penulis Cina lainnya yang menerbitkan buku tanpa persetujuan pemerintah komunis. Ironisnya, novel Liao “The Cropse Walker”, walaupun tidak mengulas hal-hal berbau politik ataupun gejolak sosial. Sebuah cerita sederhana mengenai keseharian masyarakat Cina yang hidup dalam garis keterpurukan. Tetapi di Negeri Tirai Bambu, hal demikian cukup untuk membuat seorang penulis merasakan keras dan dinginnya kehidupan balik beton dan jeruji besi.
8. The Boxer Rebellion
Karya: Diana Preston
Orang barat manapun yang pernah berkunjung ke daratan Cina akan bercerita kepada kita mengenai kehidupan dan masyarakatnya yang paling bersahabat di dunia. Namun hingga suatu masa, tepatnya di musim panas tahun 1900 terjadilah sebuah gerakan politik, dimana pergolakan itu dikenal dengan sebutan ‘Pemberontakan Boxer’. Seorang penulis, Diana Preston dalam bukunya mengulas pergolakan tersebut, sebuah peristiwa kecil namun sangat menyesakkan. Ketika itu sekelompok masyarakat Cina merasa lelah diperas, disiksa, oleh ulah sekelompok masyarakat Cina lainnya yang bekerja sama dengan pihak asing dalam menyukseskan perdagangan opium, serta lebih menguntungkan pihak asing.
9. The Global Phenomenon of the Triads
Seperti halnya sebuah film mafia Cina yang biasa disutradarai oleh John Woo, seorang penulis bernama Martin Booth mengulas berbagai kehidupan dan berbagai pola kejahatan yang dilakukan oleh mafia yang biasa dikenal dengan nama Triad. Kejahatan triad tidak saja meliputi kawasan berkulit kuning saja melainkan jauh menyeberangi rumah dinasti mereka sendiri. Sebuah jaringan konspirasi yang rapih dalam upaya mencuci uang kejahatan mereka bahkan terdapat di sebuah kota di Amerika Serikat, San Fransisco, dan sang pemimpin mereka berada di sebuah restoran mewah di Pecinan. Seandainya yang diungkapkan adalah benar maka dapat dipastikan bahwa mereka memiliki persentasi besar keuntungan dari penjualan narkoba, perjudian, prostitusi dan pembajakan dunia digital.
Seandainya Anda belum pernah mendengar mengenai sebuah “Desa AIDS” sebelumnya, karena hingga sekarang belum pernah ada buku yang terbit mengulas mengenai pandemik AIDS di negeri Tirai Bambu tersebut. Maka Yan Lianke-lah yang mengupas dan membuka mengenai bagaimana buruknya penyebaran AIDS di dalam masyarakat Cina bahkan meluas hingga ke luar negeri melalu penjualan darah. Mereka menjual darah tanpa melakukan sebuah pemeriksaan terlebih dahulu, bahkan ketika pemerintah Cina melakukan sebuah upaya pengasingan bagi orang yang menderita dan terjangkiti HIV AIDS—dengan cara mengisolasi mereka di sebuah desa. Dari penghuni desa tersebutlah darah didapatkan lalu diperjual belikan secara luas. Pemerintah Cina membiarkan para ODHA (orang yang hidup dengan HIV AIDS), hidup dan mati di desa tersebut.
Karya: Martin Booth
Seperti halnya sebuah film mafia Cina yang biasa disutradarai oleh John Woo, seorang penulis bernama Martin Booth mengulas berbagai kehidupan dan berbagai pola kejahatan yang dilakukan oleh mafia yang biasa dikenal dengan nama Triad. Kejahatan triad tidak saja meliputi kawasan berkulit kuning saja melainkan jauh menyeberangi rumah dinasti mereka sendiri. Sebuah jaringan konspirasi yang rapih dalam upaya mencuci uang kejahatan mereka bahkan terdapat di sebuah kota di Amerika Serikat, San Fransisco, dan sang pemimpin mereka berada di sebuah restoran mewah di Pecinan. Seandainya yang diungkapkan adalah benar maka dapat dipastikan bahwa mereka memiliki persentasi besar keuntungan dari penjualan narkoba, perjudian, prostitusi dan pembajakan dunia digital.
10. Dream of Ding Village
Karya: Yan Lianke
Seandainya Anda belum pernah mendengar mengenai sebuah “Desa AIDS” sebelumnya, karena hingga sekarang belum pernah ada buku yang terbit mengulas mengenai pandemik AIDS di negeri Tirai Bambu tersebut. Maka Yan Lianke-lah yang mengupas dan membuka mengenai bagaimana buruknya penyebaran AIDS di dalam masyarakat Cina bahkan meluas hingga ke luar negeri melalu penjualan darah. Mereka menjual darah tanpa melakukan sebuah pemeriksaan terlebih dahulu, bahkan ketika pemerintah Cina melakukan sebuah upaya pengasingan bagi orang yang menderita dan terjangkiti HIV AIDS—dengan cara mengisolasi mereka di sebuah desa. Dari penghuni desa tersebutlah darah didapatkan lalu diperjual belikan secara luas. Pemerintah Cina membiarkan para ODHA (orang yang hidup dengan HIV AIDS), hidup dan mati di desa tersebut.
No comments:
Post a Comment