1. Phil Ochs
Penyanyi Texas yang doyan berkeliling ke berbagai daerah ini, merupakan salah satu figur musisi yang menyaingi Dylan dalam melakukan protes melalui sebuah lagu. Suara perak yang dimilikinya sangatlah tulus, hingga suatu masa sulit harus ia alami, kerusakan pada pita suara cukup mengganggunya untuk bernyanyi dan mungkin itu juga yang menyebabkan ia memutuskan untuk bunuh diri pada tahun 1976. Krisis misil Kuba, Perang Vietnam, Pergerakan Hak Asasi, kebijakan tentang senjata api, kemiskinan…adalah isu-isu yang Och angkat dalam setiap lagunya, bahkan ia menuliskannya dengan tegas sebuah pernyataan seperti,”I Ain’t Marching Anymore” serta sebuah pernyataan sinis “Outside of a small circle of friends.” Ia adalah seorang yang hebat, dan lagu-lagunya sangat cocok bagi orang yang tertarik terhadap gejolak sosial, lagu-lagu yang tak lekang oleh zaman.
2. Public Enemy
Album yang berjudul “It Takes a Nations of Millions to Hold Us Back,” mengungkapkan semuanya. Di penghujung tahun era 80’an dan awal 90’an, Public Enemy merupakan suara yang mewakili kaum kulit hitam di Amerika Serikat, yang disampaikan melalui sebuah konsep musik dan lirik. Mereka dengan terbuka membicarakan ketimpangan kekuasaan dan birokrasi, seperti dalam lagu “Don’t Believe the Hype,” “She Watch Channel Zero,” “911 Is a Joke,” “Fight the Power,” dan “Fear of a Black Planet”. Cerdas, jelas dan memiliki irama serta nada yang menghentak, P.E (Public Enemy) adalah sebuah perlawanan terhadap arus trend yang terdapat dalam tema musik hip hop. Berbeda dengan penyanyi dan kelompok lainnya, P.E menjadikan musik hip hop adalah sebuah kebebasan berbicara dan menumpahkan ide-ide brilian yang menyayat kaum penguasa.
3. MC5
Lagu “Kick out the jams motherf—ers” mungkin tidak terlihat sebagai sebuah protes, namun lirik berbalut semangat rock n’r roll ini berisi sebuah serangan terhadap perkembangan industri hiburan yang ada di Kota Detroit di penghujung tahun 1960’an. MC5 mencoba memperluas pengaruh dan menghujam pandangan industri dan elemen musik lain dengan caranya. Mereka memainkan musik secara acak dan eksperimental, demikian pula dengan penampilannya, berimprovisasi dengan ‘gitar kembar’ dengan volume sesuai intuisi mereka. Radikalisme yang mereka miliki didukung oleh sang manajer John Sinclair, bahkan mereka memperluas struktur musik lagu John Lee Hooker sebagai cover version, “Motor City is Burning.” Gaya mereka banyak memengaruhi musik generasi berikutnya seperti Sonic Youth dan lain lain.
4. U2
Selama berada dipermukaan publik musik, mungkin band asal Irlandia U2 sepertinya berusaha mendominasi dunia musik pop dengan kreatifitas mereka, dan tidak banyak yang mengetahui sepak terjang mereka dalam pergerakan lainnya, yakni berusaha menciptakan kedamaian dan kesejahteraan di bumi. Lagu seperti “Get on Your Boots,” yang berisikan tentang perang, serta “No Line on the Horizon,” yang berisikan sebuah pandangan mengenai tidak adanya batas yang menghalangi pergerakan manusia di manapun. Demikian pula dengan beberapa lagu klasik mereka seperti “New Year’s Day,” “Pride (In the Name of Love)” dan “Second” beberapa dekade lalu.
5. Rage Against the Machine
Mereka lahir di era kejayaan musik alternatif rock, band asal Kota Los Angeles, Amerika Serikat, Rage Against the Machine, menghentak publik musik dengan lagu “Killing in The Name of..”, “Bullet in the Head,” dan “Bulls on Parade,” yang berasal dari sebuah pemikiran dan pandangan mereka terhadap rasisme yang masih berlangsung. Band yang beranggotakan anak muda kreatif yang dimotori oleh Tom Morello, ia menjadikan permainan sound dan teknik gitarnya sebagai karakter khas RATM dari tahun 1991 hingga 2000. Band ini sempat vakum, karena sang gitaris dan vokalis, Tom dan Zack lebih terlibat dalam sebuah pergerakan sosial-politik, mereka berjalan melawan dan menentang kebijakan terutama yang berbau oligarki serta kapitalisme.
Dylan adalah salah satu perintis gerakan protes melalui musik folk modern di Amerika Serikat, bahkan ia bisa saja disebut sebagai raja dari musik folk tahun 1960’an. Dylan membangkitkan publik musik, semangat seorang pengembara yang menghubungkan masa lalu dan sekarang bahkan masa depan. Ia bahkan terang-terangan menyebutkan seseorang yang menginspirasinya dalam album debut, “Song to Woody,” pada tahun 1962. Woody Guthrie adalah seorang musisi folk, salah satu lagunya “This Land is Your Land” dan “Pastures of Plenty.” Dylan pun mengungkapkan pemikiran Woody dalam “Freewheelin’ Bob Dylan” tahun berikutnya. Walaupun Dylan seorang penentang, namun ia engga menyebutkan bahwa lagu; “Blowin’ in the Wind,” “Masters of War,” “A Hard Rain’s A-Gonna Fall,” dan “Oxford Town”, adalah sebuah perlawanan terhadap penguasa. Ada sebuah sumber yang mengklaim bahwa lagu “Hurricane,” yang dibuatnya pada tahun 1975 (masa ketika pergerakan anti Perang Vietnam dan Hak Asasi Manusia ramai dilakukan para aktivis) merupakan lagu tentang seorang petinju yang saat itu harus mendekam di penjara, Rubin Carter. Dylan melakukan hal-hal tersebut agar realitas yang terjadi dapat dipahami dengan baik.
7. John Lennon
Setelah pernikahannya dengan Yoko Ono, sama halnya seperti pasangan lain, mereka pun memutuskan untuk berbulan madu. Namun, hal yang spesial sekaligus orisinil adalah, dengan memanfaatkan popularitasnya John Lennon merubah bulan madunya menjadi kampanye perdamaian. John dan Yoko membuat gerakan yang dinamakan “Bed-In for Peace”, yang dimulai di sebuah Hilton Hotel di Amsterdam, Belanda. Mereka tidak beranjak dari tempat tidur selama 7 hari, dari tanggal 25 sampai 31 Maret 1969 untuk mengkampanyekan perdamaian. Gerakan ini sebagai protes terhadap tindakan kekerasan yang terus terjadi di dunia, terutama Perang Vietnam. John dan Yoko berpesan, “Daripada ikut perang lebih baik diam di tempat tidur dan panjangkan rambutmu, demi perdamaian.” Pesan ini menurut saya menyindir Amerika Serikat yang sempat mengerahkan para pemuda Amerika untuk turut serta dalam perang. Ketika dikritik oleh seorang wartawan dari The Daily Mirror, “Kalau kau bergerak itu baru berarti, kalau kau diam seperti ini itu tidak berarti. Kamu tak bisa mendapatkan kedamaian dengan bersantai di tempat tidur”, dengan taktis John menjawab, “Tidak ada yang pernah benar-benar memberikan kesempatan untuk perdamaian, (Mahatma) Gandhi pernah mencobanya, (Martin Luther) King juga, tapi keduanya tewas tertembak. Kami coba berbicara dengan kaum-kaum revolusionis yang beraggapan kedamaian bisa dicapai dengan meruntuhkan gedung. Menurutku itu yang tidak ada gunanya, dan menurut kami “Bed-In” ini cara terbaik untuk protes terhadap kekerasan dan mempopulerkan kedamaian.”
8. Bruce Springsteen
Seperti halnya Bob Dylan, Woody Guthrie, dan Joe Hill, Bruce adalah salah satu musisi rock yang juga menyuarakan protes dengan bakat luar biasa yang dimilikinya. Seperti lagu “Mary Queen of Arkansas” hingga “Promised Land,”, lalu “Highway Patrolman” hingga “The Last Carnival.” Lagu-lagu tersebut abadi dan dikenang oleh banyak publik musik di dunia. Beberapa lagu protesnya seperti “The Ghost of Tom Joad,” “sedds” dan tentu saja “Born in the U.S.A”—merupakan sebuah nasionalisme sekaligus percikan keyakinan dan ampunan bagi bangsa Amerika.
9.The Clash
Sebuah kelompok musik beraliran punkrock,ska, The Clash, yang juga menyuarakan potensial protes secara langsung di era 80’an. Lagu seperti “London Calling” yang ditujukan terhadap negara-negara Eropa pada umumnya, dan Inggris pada khususnya. Lagu tersebut menyuarakan tentang gejolak sosial yang terjadi di Eropa, rasisme, perang dingin, dan kekacauan ekonomi. Lalu ada juga lagu tentang peperangan seperti “Jihadist,” “Cold War” yang diramu dengan kocokan dan karakter suara gitar khas mereka. respon mereka terhadap kebijakan negara lain pun turut disuarakan dalam, “Washington Bullet,” lalu anti wajib militer dalam menghadapi peperangan, “The Call Up” dan “Career Opportunities.”
10. Dead Kennedys
Kelompok musik beraliran hardcore punk asal San Fransisco, Dead Kennedys, yang dimotori oleh Jello Biaffra (yang pintar sekaligus berlidah pedang), merupakan salah satu band punkrock Amerika yang pedas dan berani dalam menyuarakan protes di era 80’an. Lagu mereka seperti “Kill the Poor,” “Holiday in Cambodia,” yang terdapat dalam debut album Fresh Fruit for Rotting Vegetables, produksi tahun 1980, membuktikan ketidaknyamanan mereka. Lalu single, “California Über Alles” yang merupakan ketidaksetujuan mereka terhadap pola kehidupan di California yang dianggap seperti pemikiran seorang Nazi, ditujukan kepada Gubernur California saat itu Jerry Brown. Satir, sindiran mereka terhadap Kota Las Vegas pun terdengar saat mereka menyanyikan sebuah lagu klasik “Viva Las Vegas.” Namun album dengan formasi personal pendiri berakhir pada tahun 1985 setelah meluncurkan album “Bedtime for Democracy” yang merupakan plesetan dari judul film “Bedtime for Bonzo,” sebuah film yang dibintangi oleh Presiden Ronald Reagan.
No comments:
Post a Comment