Genosida linguistik alias pemusnahan bahasa telah terjadi dan dilakukan guna memusnahkan kebudayaan tertentu. Beberapa bertujuan untuk mengasimiliasikan kaum minoritas. Dampak nyata gonesida linguistik adalah memusnahkan bahasa serta kebudayaan lokal ataupun kaum minoritas. Beberapa geonosida linguistik yang tercatat dalam sejarah:
1. Kampanye Bahasa Mandarin
Pemerintahan Singapura memulai kampanye bahasa Mandarin pada tahun 1979 untuk sebuah promosi , secara terselubung, diantara para orang Tionghoa-Singapura pengguna bahasa mandarin. Kebijakan ini mendapatkan kecaman keras terutama dari mereka yang berasal dari China Selatan, yang tidak menggunakan bahasa mandarin. Sebagai salah satu kampanyenya, pemerintah Singapura melarang penggunaan selain bahasa Mandarin di setiap media penyiaran, dan penyiaran asing pun dibatasi. Kampanye ini berhasil, setidaknya dengan meningkatnya pengguna bahasa Mandarin, dan mengurangi penggunaan bahasa asing lain, yang dapat menyebabkan gangguan komunikasi antar generasi muda dengan tua.
2. Russianisasi
Rusianisasi merujuk pada sebuah kebijakan terhadap kedudukan baik Negara Rusia maupun Uni Soyet, untuk memaksakan pengadopsian bahasa Rusia. Secara berkala hal ini dilakukan oleh Pemerintah Rusia guna memasukan pengaruh mereka terhadap kaum minoritas yang mereka kuasai, dalam rangka menumpas gerakan separatis dan ancaman pemberontak. Seperti halnya yang terjadi di Ukraina dan Finlad, Rusianisasi digunakan sebagai sarana untuk menonjolkan sebuah dominasi politik. Salah satu Rusianisasi terjadi pada abad 19, ketika orang-orang Ukraina, Polandia, Lithuania, dan Belarusia, dijajah bangsa Rusia. Penggunaan bahasa lokal baik di tempat umum dan sekolahan dilarang, dan lebih diintensifkan lagi ketika banyak terjadi peristiwa pemberontakan. Pada pemerintahan Uni Sovyet, huruf dan bahasa arab, dihapus dan diganti menjadi bahasa Rusia dan huruf Cyrillic (huruf Rusia). Akibatnya hingga sekarang di berbagai negara bekas jajahan Rusia dan uni sovyet masih banyak yang memakan bahasa dan alfabet Rusia.
3. Kepulauan Inggris Raya
Dominasi Bangsa Inggris di dataran Wales, Skotlandia, dan Irlandia, telah memperkenalkan bahasa Inggris, namun dengan sebuah konsekuensi melenyapkan bahasa lokal yang ada wilayah tersebut. Bahasa Wales, Gaeliknya (Skotlandia), bahkan bahasa Skotlandia dan Irlandia dilarang untuk dipelajari secara formal, hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan muncul dominasi penggunaan bahasa. Bahkan pada tahun 1800an, mereka yang menggunakan bahasa Wales, leher mereka akan lingkari kalung dengan tulisan WN (Welsh Not), dan menerima sebuah pukulan sebagai sebuah hukuman. Bahasa Wales, Skotlandia, dan irlandia memiliki posisi yang rendah apabila dibandingkan dengan bahasa Inggris. Baru pada abad ke 20, pemerintah Inggris mengeluarkan kebijakan untuk kembali melindungi bahasa-bahasa lokal. Sekarang walaupun bahasa lokal tersebut masih digunakan oleh sebagian kecil saja, dan masih diurutan setelah bahasa Inggris.
4. Meng-Indonesia-kan Orang Tionghoa
Dalam pemerintahan era rezim orde baru yang dipimpin oleh Presiden M. Soeharto, dari tahun 1967-1998. Orang-orang etnis Tionghoa mengalami banyak diskriminasi di berbagai sektor kehidupan. Semua kebudayaan yang berbau Tionghoa dihapus ataupun dilarang. Mulai dari tulisan, hingga perayaan agama nenek moyang mereka. Bahkan mereka pun diharuskan mengganti namanya dengan nama berbau Indonesia. Akibat dari genosida bahasa ini, maka putuslah rantai komunikasi bahasa Tionghoa antara generasi tua dengan generasi mudanya. Namun, setelah rezim orde baru berakhir, pemerintahan Abdurrahman Wahid, kembali memperbolehkan orang-orang Tionghoa untuk mengkespresikan kebudayaannya termasuk diruang publik.
5. Bahasa Kurdi
Pemerintah Turki bermaksud meleburkan pengguna bahasa non Turki, dimulai pada tahun 1930an, saat itulah bahasa dan kebudayaan Kurdi dibatasi bahkan dilarang. Orang-orang Kurdi dianggap tidak beradab dan pembangkang, dan apapun selain dari identitas kebudayan Turki dilihat sebagai sebuah kejahatan. Hal yang sama juga terjadi di Iran, ketika pemerintahnya memiliki kebijakan “Persianisasi” dipertengahan abad 20. Mereka melarang penggunaan bahasa Kurdi, di sekolah dan institusi pemerintahan, yang kemudian secara keseluruhan melarangnya di setiap sektor sosial dan budaya. Di negara Syiria, bahasa Kurdi dilarang dalam konteks tertentu.
No comments:
Post a Comment